PERCERAIAN DI DEPAN PENGADILAN AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA STUDI ANALISIS MULTI DISPLINER

Tulisan ini berkisah tentang perceraian, meskipun diperbolehkan dalam hukum Islam tetapi merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT. Solusi ini diberikan jika tidak ada jalan keluar lagi untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara suami dan istri dalam rumah tangga mereka. Pelaksanaan...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Published inJIL : Journal of Indonesian Law Vol. 2; no. 1; pp. 1 - 24
Main Authors Anam, Moch Khoirul, Nelli, Jumni
Format Journal Article
LanguageEnglish
Published 30.06.2021
Online AccessGet full text

Cover

Loading…
More Information
Summary:Tulisan ini berkisah tentang perceraian, meskipun diperbolehkan dalam hukum Islam tetapi merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT. Solusi ini diberikan jika tidak ada jalan keluar lagi untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara suami dan istri dalam rumah tangga mereka. Pelaksanaan talak atau cerai dalam perspektif ulama klasik sangat bebas dan tergantung kepada kehendak suami, sebab dialah yang memiliki hak cerai dan tidak perlu dengan meminta pertimbangan isteri. Talak dapat dijatuhkan di mana saja, kapan dan dalam kondisi apapun. Menurut Kompilasi Hukum Islam, talak atau cerai hanya sah jika dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah upaya damai tidak dapat dicapai. Penelitian ini mengunakan metode yuridis normative. Dalam hal teknik pengumpulan data penulis menggunakan studi kepustakaan dan studi penelitian yaitu dengan membaca dan mempelajari buku yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis bahwa Banyaknya masyarakat yang masih fanatik berpegang kepada madzhab fikih klasik sehingga menghambat semangat pembaharuan hukum Islam. Perceraian di depan pengadilan Agama mengandung asas egaliter yang sesuai dengan pasal 39 UUP. No 1 Tahun 1974 dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian masyarakat agar tidak berfikir konservatif dan skeptis, akan tetapi harus egaliter dan berpegang kepada UUP dan KHI sebagai bukti kepatuhan dan kesadaran masyarakat terhadap pembaharuan hukum Islam.
ISSN:2774-8081
2774-4906
DOI:10.18326/jil.v2i1.1-24