SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pembuktian terbalik merupakan yaitu bentuk dari KUHAP. Proses pembuktian terbalik yaitu ketentuan khusus yang dibuat oleh pemerintahan melalui dibentuknya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang sebagaimana dirubah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Published inPerspektif Vol. 28; no. 3; pp. 176 - 184
Main Authors Mariyanawati, Yessy Artha, Saleh, Moh
Format Journal Article
LanguageEnglish
Published 27.09.2023
Online AccessGet full text

Cover

Loading…
More Information
Summary:Pembuktian terbalik merupakan yaitu bentuk dari KUHAP. Proses pembuktian terbalik yaitu ketentuan khusus yang dibuat oleh pemerintahan melalui dibentuknya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang sebagaimana dirubah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena sistem pembuktian yang diberlakukan dalam tindak pidana korupsi ini berbeda dengan yang diberlakukan pada hukum acara pada umumnya. Tulisan ini akan mengemukakan pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam KUHAP dan UU PTPK, selain itu juga memaparkan terkait Konflik Norma dalam Pembuktian Terbalik antara KUHAP dan UU PTPK dan juga pembahasan pembuktian terbalik dalam perspektif HAM. Tujuan penulisan untuk mengetahui dan mendeskripsikan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi beserta konflik norma dan pembahasan dalam perspektif HAM. Menggunakan metode penelitian dengan tipe yuridis normatif dan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual serta pendekatan komparatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sistem pembuktian terbalik yang dianut UU PTPK adalah sistem pembuktian terbalik secara terbatas dan berimbang. Yakni bahwa dalam hal melakukan dakwaan, jaksa tetap harus memiliki bukti-bukti awal yang cukup dan tidak asal membuat dakwaan. Sedangkan terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi memiliki hak sekaligus kewajiban dalam hal membuktikan dirinya tidak bersalah, yakni dengan memberikan keterangan mengenai asal-usul kekayaannya. Reverse proof is a form of the Criminal Procedure Code. The process of proof is reversed, namely special provisions made by the government through the establishment of Law no. 31 of 1999 which as amended in Law no. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crimes. This is because the evidentiary system applied to corruption is different from that applied to procedural law in general. This paper will present the arrangement of the reverse evidentiary system in the KUHAP and the PTPK Law, besides that it will also explain the Conflict of Norms in Reverse Proof between the KUHAP and the PTPK Law and also discuss reversed proof from a human rights perspective. The purpose of writing is to find out and describe the reverse evidentiary system in acts of corruption along with conflicting norms and discussions from a human rights perspective. Using research methods with normative juridical types and statutory approaches, conceptual approaches and comparative approaches. The conclusion of this study is that the reverse proof system adopted by the PTPK Law is a limited and balanced reverse proof system. Namely that in terms of carrying out charges, the prosecutor must still have sufficient initial evidence and not just make charges. Meanwhile, a defendant who has been charged with committing a criminal act of corruption has both rights and obligations in terms of proving his innocence, namely by providing information regarding the origin of his wealth.
ISSN:1410-3648
2406-7385
DOI:10.30742/perspektif.v28i3.883