A Translation Analysis of Kahlil Gibran’s “The Broken Wings” to “Sayap-Sayap Patah” by Sapardi Djoko Damono and M. Ruslan Shiddieq
This research analyzes the translation between two translators in translating Kahlil Gibran’s work entitled “The Broken Wings” into ‘Sayap-Sayap Patah”. This research is descriptive qualitative. The analysis shows that the two translators have different styles of translating. The first translator, S...
Saved in:
Published in | Ranah (Jakarta, Indonesia) Vol. 13; no. 1; p. 151 |
---|---|
Main Author | |
Format | Journal Article |
Language | English |
Published |
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
30.06.2024
|
Subjects | |
Online Access | Get full text |
Cover
Loading…
Summary: | This research analyzes the translation between two translators in translating Kahlil Gibran’s work entitled “The Broken Wings” into ‘Sayap-Sayap Patah”. This research is descriptive qualitative. The analysis shows that the two translators have different styles of translating. The first translator, Sapardi Djoko Damono, chose a more formal and direct style in his translation, while the second translator, M. Ruslan Shiddieq, tended to use a more expressive style and prioritized artistic impressions. Sapardi Djoko Damono maintained fidelity to the original text by translating it literally, while M. Ruslan Shiddieq carried out free interpretation and created more metaphorical and creative sentences. These differences in approach result in translations that have different nuances and expressions, reflecting the translator's style and preferences. Despite their differences, both translators, Sapardi Djoko Damono and M. Ruslan Shiddieq, effectively convey the essence of Kahlil Gibran's "The Broken Wings" in Indonesian, albeit through distinct stylistic lenses. To be a proficient translator of literary works, one must possess a mastery of both the source and target languages, a deep understanding of literature, a keen sense of aesthetics, and a strong sense of literature. Literature with its emotional depth and linguistic beauty resonates deeply with readers Skilled translators like Sapardi Djoko Damono and M. Ruslan Shiddieq bring forth its lyrical and profound qualities in their translations. Overall, the translation of literary works requires not only linguistic proficiency but also creative skill and cultural sensitivity. Each translator brings their unique style and approach, shaping the reader's experience of the translated work. As readers, we can appreciate and explore the diverse interpretations offered by different translations, enriching our understanding and enjoyment of literature in translation. AbstrakPenelitian ini menganalisis penerjemahan antara dua orang penerjemah dalam menerjemahkan karya Kahlil Gibran yang berjudul “The Broken Wings” ke dalam ‘Sayap-Sayap Patah’. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua penerjemah mempunyai gaya penerjemahan yang berbeda. Penerjemah pertama, Sapardi Djoko Damono, memilih gaya yang lebih formal dan langsung dalam penerjemahannya, sedangkan penerjemah kedua, M. Ruslan Shiddieq, cenderung menggunakan gaya yang lebih ekspresif dan mengutamakan kesan artistik. Sapardi Djoko Damono menjaga kesetiaan pada teks aslinya dengan menerjemahkannya secara harfiah, sedangkan M. Ruslan Shiddieq melakukan interpretasi bebas dan menciptakan kalimat yang lebih metaforis dan kreatif. Perbedaan pendekatan ini menghasilkan terjemahan yang mempunyai nuansa dan ekspresi berbeda yang mencerminkan gaya dan preferensi penerjemah. Meski berbeda, kedua penerjemah, Sapardi Djoko Damono dan M. Ruslan Shiddieq efektif menyampaikan esensi “Sayap Patah” karya Kahlil Gibran dalam bahasa Indonesia, meski melalui lensa stilistika yang berbeda. Untuk menjadi seorang penerjemah karya sastra yang mahir, seseorang harus memiliki penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran, pemahaman yang mendalam tentang sastra, rasa estetika yang tajam, dan rasa sastra yang kuat. Sastra dengan kedalaman emosional dan keindahan linguistiknya sangat disukai pembaca. Penerjemah terampil seperti Sapardi Djoko Damono dan M. Ruslan Shiddieq menonjolkan kualitas liris dan mendalam dalam terjemahannya. Secara keseluruhan, penerjemahan karya sastra tidak hanya memerlukan kemahiran linguistik tetapi juga keterampilan kreatif dan kepekaan budaya. Setiap penerjemah menghadirkan gaya dan pendekatan uniknya masing-masing, yang membentuk pengalaman pembaca terhadap karya terjemahan. Sebagai pembaca, kita dapat mengapresiasi dan mengeksplorasi beragam penafsiran yang ditawarkan oleh berbagai terjemahan sehingga memperkaya pemahaman dan kenikmatan kita terhadap karya sastra dalam terjemahan. |
---|---|
ISSN: | 2338-8528 2579-8111 |
DOI: | 10.26499/rnh.v13i1.4713 |